Archive for the 'Coretan Pensil' Category

24
Dec
09

Das Sollen – Das Sein

3 tahun yang lalu, dan selama 3 tahun pula, saya dididik dalam sebuah lembaga pendidikan semi formal untuk menjadi seorang broadcaster (penyiar). Tidak hanya siaran doang. Tapi (seingat saya) juga berbagai macam hal yang berhubungan dengan dunia penyiaran itu sendiri, yang pada akhirnya berujung kepada tugas stereotype semua warga negara yang baik.

Membangun masyarakat yang (lebih) baik melalui dunia masing-masing, yang dalam hal ini adalah dunia kepenyiaran: Bagaimana membuat media massa menjadi tempat pembelajaran (tapi tidak menggurui) dan secara persuasif ‘mendampingi’ masyarakat dalam segala perubahannya untuk tumbuh menjadi lebih baik. Setidaknya seperti itulah seorang broadcaster yang baik, menurut saya.

Nah, tadi siang, teori saya tadi dipatahkan oleh teman saya… *PRAK!

teman saya yang lebih muda ini sekarang sedang menjalani perannya sebagai mahasisw sekaligus seorang PNS yang begerak dibidang kepenyiaran. Dia menceritakan dengan gamblang bagaimana kantornya ‘bekerja’.

Katanya, dengan hanya siaran sekali seminggu, dia bisa mendapatkan UMR (Itu gaji bersihnya, jangan tanya yang lain…..). Waktunya pun terserah (kebetulan teman saya ini memegang acara ‘anak muda’ — entah acara apa yang dimaksud, saya juga kurang mengerti), kalo lagi mood masuk pagi, ya silahkan masuk pagi. Kalo lagi mood masuk siang, ya <i?monggo. Konten siaran yang cuma itu-itu saja? Nggak masalah. Mau diubah sesuka hati? Silahkan.

“Lho, kok gitu? Emang nggak ada evaluasi?” tanya saya, dan dia menggeleng ringan.

“Walah, kalo cuman gitu, nanti nggak ada yang ndengerin?” teman saya cuman tersenyum.

“Pernah diadain survey?” dan sekali lagi dia menggeleng.

Akhirnya dia angkat bicara, “Kamu tidak perlu siaran yang bagus – bagus. Tinggal dateng — dan terserah kamu mau dateng jam berapa, pokoknya dateng saja — trus siaran deh. Tinggal cuap-cuap, puter lagu, dan jangan lupa puter iklan tapi, hehehe. Oiya, diruang siar juga banyak makanan kok. Jadi bisa siaran sambil ngemil deh….”

Fukk It!!!

***

Sewaktu kami pulang, di tempat parkir, kami melihat seorang bapak-bapak berseragam PNS dengan plastik berlogo toko tergantung ditangan nya sedang mengeluarkan sepeda motor. Selama beberapa detik saya, dan teman saya memandangi pemandangan itu.

“Jam berapa to, ini?” Tanya saya.
“yang jelas sudah lepas dari jam makan siang” Jawab teman saya.
“Tanggal berapa sih ini?”
“Tanggal muda!”

Dan teman saya itu pun mengeluarkan quote yang mungkin tidak akan saya lupakan seumur hidup:

“Sadar atau tidak, sebagian dari gaji hasil jerih payahmu, dan segala macam pajak yang kamu bayarkan rutin setiap bulan, akan masuk kedalam kantong kami”

Solo, 2 November 09
Di sebuah tempat perbelanjaan yang ramai…

***

Terlepas dari semua pengalaman buruk saya tentang PNS (sampai hari ini), dalam lubuk hati yang paling dalam, saya percaya bahwa masih ada orang-orang idealis yang berjuang untuk amanah yang berada di pundak mereka.

Kalimat pertama yang diucapkan Umar Bin Khotob saat beliau diangkat jadi Khalifah bukanlah Alhamdulillah, melainkan innalillahi wa inna ilaihi roji’un…karena beliau sadar bahwa Khalifah bukanlah jabatan, tapi amanah.

-Zainuddin MZ-

Tulisan ini telah diedit sedemikian rupa, tanpa mengurangi konten asli nya 😉

24
Dec
09

Semangkuk Sayur Hangat dari Ibu

Di siang hari yang panas itu, Mayang berjalan dengan cepat. Perpaduan antara ranselnya yang besar dan berat serta tubuh gembulnya yang terbalut seragam putih – abu-abu itu membuatnya terkesan seperti berlari tergopoh-gopoh. Tapi ia tidak peduli. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah pulang ke rumah dan menyingkir dari suhu jalanan yang panasnya tak karuan akhir-akhir ini. Bayangan air dingin yang segar dari kulkas dan nasi sayur hangat buatan ibu nya menjadi motivasi tambahan mayang untuk segera pulang.

Sesampai di teras, mayang langsung masuk begitu saja. Tanpa mengetuk pintu, tanpa melepas sepatu di luar. Suhu udara yang panas telah menjadikannya pelanggar hukum tak tertulis di rumahnya sendiri. Lagian, bukannya peraturan itu dibuat untuk dilanggar?

“Ibuuu…!” mayang berteriak sembari melintasi ruangan. Tak ada jawaban. Tapi suara ketukan pisau metal dan kayu yang bertempo tetap menandakan bahwa ada seseorang di dapur. Ibunya, mungkin.

Mayang segera berlari ke dapur. Dan memang benar, ada ibunya di sana, ditengah kepulan asap sayur, berdiri membelakangi mayang, sedang memotong sayuran.

“Ibu masak apa? Masih lama nggak?” Mayang bertanya, tapi ibunya tidak bergeming. Ia tetap saja memotong sayuran dengan pelan dan tenang. Mungkin ibu sedang marah karena ia tidak mengetuk pintu dan melepas sepatu di luar, pikir mayang. “Iya deh, maafin mayang. Tadi mayang nggak mengetuk pintu dan ngelepas sepatu di luar”

Tetap tidak ada jawaban.

“Tapi tadi panas banget bu…”
“Ya sudah, nggak apa-apa. Sana, kamu masuk dulu.sebentar lagi masakannya mateng” Akhirnya ibunya menjawab.
“Ah, terimakasih! Ibu baik deh” mayang mendekat, lalu memeluk dan mencium pipi ibunya dari belakang, “ Lho, badan ibu kok dingin banget? Ibu sakit ya?”
“Cuman lelah sedikit kok. Nanti selesai masak ibu mau istirahat”
“OK mum! Mayang tunggu di dalam ya!”

Setelah membuka kulkas dan mengeluarkan sebuah botol berisi air putih, mayang meninggalkan ibunya di dapur.

***

Jarum jam diding baru menunjuk angka 3 sore, tapi koridor rumah sakit itu sudah jarang dilewati orang. Hanya seorang perempuan muda yang dari pagi tadi duduk di bangku panjang yang berada di tempat itu. Wajahnya kuyu, rambutnya kacau. Sesekali wajahnya menegadah, tapi lebih banyak tertunduk. Tenggelam di dalam tangkupan telapak tangannya.

‘Sialan! Seharusnya aku tidak mabuk… seharusnya aku membiarkan si Eko yang nganter pulang ke rumah… seharusnya aku lebih hati-hati…. Seharusnya…. Ah, anjing!’ Perempuan itu mengumpat dalam hati sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah dilakukannya entah berapa kali.

Pintu di dekat perempuan itu akhirnya terbuka. Dari dalam, muncul seorang laki-laki paruh baya berjas putih. Dengan lembut orang itu menghampiri si perempuan, lalu duduk di sebelahnya. Si perempaun menoleh, menatap mata laki-laki itu penuh arti. Dan si laki-laki membalasnya dengan tepukan lembut di pundak si perempuan.

“Maaf…”, Kata laki-laki itu dengan pelan.

***

‘Tok-tok-tok….’
‘Tok-tok-tok….’
‘Tok-tok-tok….’

Mayang terhenyak, kembali ke dunia fana setelah cekikikan melihat acara favoritnya di TV. Sudah tiga kali pintu rumahnya diketuk, tapi ibunya belum membukakan pintu. Aneh, pikir mayang. Biasanya bila pintu depan diketuk, ibunya lah yang langsung meluncur, membukakan pintu. Tapi hari ini, hingga ketukan ketiga, bahkan ibunya suara ibunya belum ia dengar. Jadi, nampaknya mayanglah yang harus membukakan pintu.

Di luar, mayang mendapati dua orang teman sekelasnya, Amanda dan Martha. Mereka berdua terlihat cemas.

“Wah, tumben siang-siang maen? Ada apa nih?” Tanya mayang, “Ayo, masuk dulu”
“Mayang!” Amanda langsung memeluknya dengan erat.
“May, please jangan sedih ya” sahut Martha.
“Heh, ada apa sih?”
“May, kita tadi dapet laporan dari ayahku yang lagi jaga di rumah sakit…”
“Laporan apa?”
“Eee….. tadi pagi ibu mu kecelakaan waktu pulang dari pasar. Ibumu… meninggal di rumah sakit”
“Halah, kalian ini bilang apa sih? Ya nggak mungkin lah. Ibuku tuh sekarang lagi masak di da…pu…r”

Mayang sadar. Ada yang aneh dengan ibu nya hari ini.

Dengan cepat, ia langsung berlari ke dalam. “IBUUU! IBUUU!” sembari berteriak, mayang menyisir seluruh ruangan.

Ruang tamu, kosong.
Ruang makan, kosong.
Dapur, kosong
Kamar tidur, kosong
Kamar mandi, kosong.

Kosong

Mayang sadar ada sesuatu. Ada yang salah. Ada yang terlewat…
Masalahnya, dia sedang tidak ingin percaya pada apa yang baru saja disadarinya.

Dan di atas meja dapur, semangkuk besar sayur hangat tersaji rapi.

26
Oct
09

Sebuah cerita sederhana dari sebuah rumah sederhana di sebuah tepi jalan sederhana

Impian itu bisa datang dari mana saja.
Ya, dari mana saja.
Dan kali ini, impian itu datang dari sebuah rumah sederhana.

Sebuah rumah sederhana di tepi jalan sederhana.

Kau tahu, hari ini kamu cantik sekali dalam gaun putih mu.
Walaupun badanmu sedikit melar (hahaha…!!!), tapi itu tidak berpengaruh (banyak) kok, tenang saja
Dan Mas mu yang tinggi tegap itu pun nampak gagah di dalam balutan jas hitam sederhana.

Ah… aku jadi teringat ketika kita berdua ngobrol ditepi jalan itu.
Tentang impian-impian,
Tentang jalan masuk universitas yang dipenuhi pejalan kaki dan sepeda-sepeda,
Tentang brosur-brosur dari seberang lautan.

Kapan ya, percakapan itu?
Rasanya baru kemarin sore….
Sial. Rasanya singkat sekali ya…. 🙂

Nah… dan hari ini kamu telah menyelesaikan ijabmu.
Jadi, sudah cukup melodrama nya.

Now, its show time.

Buatlah keluarga mu, keluarga mu, teman-teman mu, dirimu sendiri, dan laki-laki disampingmu itu bahagia.
Lahirkan anak-anak yang hebat,
Untuk dirimu, untuk suamimu, untuk keluargamu, untuk kami, untukku.

Dan aku?
Aku akan mewujudkan impian-impian itu.
Impian-impian yang kita bicarakan waktu itu.

Jadi,
Selamat,
Selamat,
Selamat,
Untuk lembaran yang baru dari pagi yang sederhana ini 🙂

Dedicated to:
Rr. Wedha Hestiningrum, Amd & Bg. Rahmad Bayu Ariadi, SE.
Sabtu, 10 Oktober 2009
09:23 AM
Karangmalang, Sragen




May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Categories

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 2 other subscribers