12
Feb
10

Eternal Memory

Angin berhembus perlahan, menerpa wajahku yang sayu. Menerbangkan setiap helai rambutku. Deburan ombak yang ramai dan kesunyian yang senyap menyatu, membentuk satu simfoni pantai di bawah sinar bulan purnama. Persis beberapa tahun yang lalu, berapa tahun? Ah,aku sudah lupa. Terlalu banyak hal yang terjadi setelah itu. Toh itu tidak terlalu penting bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di hari itu.

Aku ingat, rud. Aku ingat. Aku ingat sampai ke detailnya. Apa yang kamu ucapkan, baju yang kamu pakai, aroma tubuhmu, bahkan cara pandang dan nada bicaramu pun aku masih ingat hingga sekarang.Aku ingat, rud. Aku ingat, saat itu pukul sebelas malam. Saat dimana tak ada orang lagi di pantai ini. Dimana sinar purnama menyinari garis horison pantai nun jauh disana.Waktu bagi para manusia untuk terlelap dalam buaian mimpi indah mereka. Tapi kita berbeda. Iya kan, rud?

Seingatku, saat itu kita tengah berburu foto untuk salah satu tugas kita…ah, lagi-lagi aku lupa tugas apa itu.

Hahaha… aku selalu tertawa kalau mengingat masa masa itu. Kita ambil apa saja yang menurutmu menarik. Jepret sana jepret sini. Kita berdua persis kayak orang kesetanan dikejar deadline.Di sela-sela perburuan itu kita masih sempat tertawa. Kita berdua…aku dan kamu…Rudi dan Luna…

“Luna, kalo kamu ngantuk, istirahat dulu, biar aku yang ambil fotonya.” Begitu katamu padaku setiap menit.
Dan aku selalu menjawab kata-katamu itu dengan sebuah senyuman. “Ayolah rud, kau sudah kenal seperti apa aku ini. Aku bukanlah tipe orang yang gampang menyerah.” Jawabku dalam hati.

Dan buktinya, aku berhasil berburu gambar denganmu hingga matahari terbit. Kakiku rasanya mau copot, harus berjalan sepanjang malam. Dan seperti yang aku duga, kau membimbingku dan mengatakan padaku dengan lembut, “Kan sudah aku bilang, kalo kamu capek istirahat dulu di pondok.”.

Apakah itu karena kamu (terlalu) perhatian padaku atau kamu hanyalah tipikal cowok yang cerewet, aku tidak tahu.

Seingatku, kita bukanlah sepasang kekasih. Bukan pula sahabat dekat. Kita hanyalah dua orang dari tempat yang berbeda, yang…ah, aku ingat sekarang! Saat itu kita sedang mendapat tugas untuk mengambil gambar bayi-bayi penyu yang sedang menetas.

“Hai cantik, boleh aku tahu namamu? Perkenalkan, namaku Rudi. Aku dating dari…” bla-bla-bla.
Apa kau tahu Rud, kalau pada saat itu juga, aku mulai menyukaimu. Padahal kamu bukan orang yang ganteng, juga nggak pinter-pinter amat. Kamu bukanlah tipe pria yang aku inginkan. Entahlah Rud,yang pasti, aku menyukaimu tanpa sebab. Dan mulai saat itulah kita berdua menjadi dua orang yang mencoba untuk saling mengerti, memahami,dan saling jaga. Semuanya berjalan dengan alami, sampai hal itu terjadi.

Matahari sudah menampakkan wujudnya. Menyinari wajahmu yang kusut karena belum tidur semalaman. Tapi aku tahu, dibalik wajahmu yang kusut itu, tersimpan perasaan puas karena telah mengumpulkan banyak foto.
Dan saat itulah…
Saat kau berjalan di depanku,
Saat kau menuju kearah mobilmu,
Saat kau ingin meninggalkan pantai ini,
Saat kau ingin meninggalkan diriku,
Saat itulah sekonyong konyong tanganku menahan jemarimu, memaksamu unuk berhenti sejenak.

“Luna, aku…maksudku, aku sangat senang sekali dapat berjumpa denganmu. Aku tak akan dapat melupakan perjumpaan kita yang sejenak ini. ” Katamu seraya memandangi cincin kawin di jari manismu.
Tapi aku tak ambil pusing dengan itu. Karena aku menyukaimu.
Tulus.

“Kapan kita dapat bertemu lagi?” Tanyaku padamu. Lalu dengan tersenyum, kau menjawab pertanyaanku. Tapi… aahhh… lagi-lagi memoriku error. Aku tidak dapat lagi mengingat apa yang kau katakan saat itu.

———

Angin berhembus perlahan, menerpa wajahku yang sayu. Menerbangkan setiap helai rambutku. Deburan ombak yang ramai dan kesunyian yang senyap menyatu, membentuk satu simfoni pantai di bawah sinar bulan purnama. Persis beberapa tahun yang lalu.

Di sini, tempat kita berdua pernah memotret penyu penyu itu, aku menunggu dirimu. Setiap hari, Setiap waktu, Setiap saat. Dan hari ini, aku melihat seorang kakek berjalan menyusuri garis pantai. Ditangan nya tergenggam seikat bunga. Dibawah sinar bulan purnama, aku melihat wajah yang sayu, sama spertiku. Orang ini terus berjlan sampai di samping gubug tua. Dia berjongkok dekat situ, lalu bergumam dengan lirih, tapi aku masih dapat mendengarnya,

“Terima kasih kamu sudah menungguku selama ini. Maafkan aku yang lupa akan janjiku. Kupikir aku adalah jenis laki-laki yang tak akan lama diingat orang. Tapi kau begitu sabar menungguku. Aku juga sudah mendengar kabar tentang seorang nenek yang terseret ombak. Dan saat aku tahu kalau itu kau, aku segera datang ke tempat ini. Dan karena jasadmu yang belum ditemukan, kupikir aku akan meletakkan bunga ini disini. Ditempat yang sama saat kita pertama kali bertemu. Terimakasih luna, terima kasih.” Lalu kakek itu berkomat-kamit membaca doa untukku.

Tak usah berterimakasih padaku, Rud. Aku menunggumu sebab aku suka. Kau tidak perlu susah-susah membalas rasa ‘’suka’’ ku padamu. Karena aku menyukaimu.

Tulus.


0 Responses to “Eternal Memory”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


February 2010
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728

Categories

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 2 other subscribers