12
Feb
10

Sutardi

Pagi itu, Sutardi membuka matanya dengan perasaan tidak nyaman. Bukan karena sajadah yang ia tiduri berbau apek, atau posisi tidurnya yang ‘njingkrung’. Sutardi memang sudah merasa tidak nyaman semenjak ia bangun tadi pagi, sebelum sholat subuh, sebelum ambil air wudlu. Hari ini negaranya mengadakan ‘gawe’. Yakni sebuah voting suara untuk mencari sosok pemimpin yang baik. Sutardi jadi teringat Orang-orang ber jas dan berdasi yang sering nongol di TV itu. Mereka menyebutnya ‘Pesta Demokrasi’.

Tapi hal itu tidak berlaku bagi Sutardi. Di dalam kamus hidupnya tidak tercantum kata itu. Baginya, hari ini adalah hari dimana dia memilih salah satu nama dan gambar beberapa lembar kertas. itu saja, titik. Apakah kertas itu nantinya akan sampai pada orang-orang pintar itu atau hanya akan sampai ditengah jalan, ia tidak tahu. atau lebih tepatnya, tidak peduli.

Ia ingat kemarin, saat dirinya bertanya pada simbok nya, siapakah yang akan ia pilih. Lalu dengan santai Ibunya menjawab, “Ealah… mbok ya nggak usah ngoyo. Inget dulu waktu pak Kades mencalonkan diri jadi… apa itu namanya? Caleg ya? Dia dulu janji macem macem. Katanya nanti akan ada bantuan banyak buat orang miskin. Lha sekarang? Raskin aja diembat! Sudahlah Di. Kamu itu ngibadah saja yang bener. Berdoa sama gusti Allah. Biar cepet dapet kerjaan. Jangan mau kalah sama Maryono. Dia itu habis lulus STM langsung kerja!”

Sambil kedap-kedip Sutardi mencerna kata-kata simbok. Benar juga. Intinya, apapun yang dia pilih, hidupnya tidak akan lebih baik dari ini. Dan janji janji itu? Ah, anget anget tai kucing. nanti kalau sudah kepilih pasti pada lupa.

Baru sekejap ia berpendapat seperti itu, pikirannya langsung melayang ke beberapa hari yang lalu. Mas Bayu, satu satunya tetangga nya yang mengenyam bangku kuliah, punya pendapat lain. Ia ingat, saat itu mereka tengah ngobrol di pinggir lapangan, melihat anak-anak kecil bermain bola.

“Dik Tardi, kamu jangan pesimis gitu dong. Proses pemilihan ini penting lho. setiap suara dari kita akan ikut menentukan siapa yang akhirnya siapa yang jadi pemimpin kita. Pilih orang orang yang bener. Soalnya, kalau yang terpilih itu orang orang yang salah, ya… tamatlah kita”

Kemudian Mas Bayu menegadah, memandang ke langit. Sutardi juga ikut menengadah. Ia penasaran apa yang dilihat Mas bayu kala itu. Tapi tak ada yang ditangkap mata nya selain sobekan awan tipis yang bergerak pelan. “Kita ini adalah Negara.” Mas bayu melanjutkan,”Kalau bapak-bapak itu mati, ya kita ini penerusnya. Nah, kalau dari sekarang saja kita sudah apatis, lalu mau jadi apa Negara ini?”

Pilih yang bener? Tamat? Kini Sutardi kembali keatas sajadah apek nya.

Bukankah setiap orang pasti memilih ‘yang bener’? Terus, bukankah hasilnya juga sama saja? Sama tidak berubah nya. Sama miskinnya. Sama tamatnya seperti sebelum memilih? Lalu apa salahnya kalau sekarang dirinya jadi apatis? Toh semuaya sama saja.

Sutardi mengubah posisi njingkrungnya. Bunyi gemelatuk ringan terdengar basah dari punggungnya. Tapi ia segera menyadari kalau Mas Bayu adalah mahasiswa. Kata orang, yang jadi mahasiswa itu pasti orang pintar. Dari kalangan mahasiswa lah para konglomerat dan politikus berasal. Bukan dari lulusan STM pengangguran seperti dirinya. Ah, mungkin ilmu ku belum sampai,pikir Sutardi sambil diam-diam menyetujui pendapat Mas Bayu.

‘Ah, aku akan mencontreng hari ini!’ Tekadnya dalam hati seraya bangkit, lalu melipat sajadah dan melepas peci nya. Dan ketika menyentuh peci –yang lebih apek dari sajadahnya itu- Sutardi sekonyong-konyong langsung teringat akan wejangan Ustadznya. Pemilu bukan hanya masalah memilih. Tapi juga tanggung jawab. Tanggung jawab dari calon pemimpin, pemilih, panitia pemilihan, bahkan sampai yang nyinom. Soalnya, semua itu akan dipertanggung jawabkan di akherat nanti. Ketika kita memilih orang yang salah, maka dosa kita akan digabung dengan orang-orang yang ‘salah memilih’, ditambah dosa pemimpin dan antek-anteknya. Kalau Ustadznya mengistilahkan, Dosa Jariyah.

Sinar matahari mulai masuk melalui celah jendela kayu nya, membentuk garis debu tipis. Sutardi makin bingung. Separo dari dirinya menyuruhnya untuk menjadi bagian dari proses pemilihan, untuk menjadikan negaranya lebih baik. Tapi separo yang lain takut akan dosa yang begitu banyak…kalau ternyata ia memilih orang yang salah.

“Uhuk…uhuk…uhuk” Dari dapur, Sutardi mendenar Simboknya batuk. Ia sadar, kalau penyakit batuk ibunya tambah parah. Pak Mantri berkali-kali menyarankan simbok untuk periksa ke puskesmas. Tapi simbok menolak. Katanya, daripada dipakai buat periksa, lebih baik untuk beli beras. Ya ya ya, Ia sadar kalau yang namanya ekonomi itu bisa mengalahkan apa saja.

Apa saja. Termasuk kesehatan diri.

Tiba-tiba Sutardi dapat ide. Daripada ia memilih dan kemungkinan mendapat dosa besar, ia pergi ke pasar. Siapa tahu ia bisa ‘Nguli’ disana. Kan hari ini banyak kuli yang libur. Lumayan buat mbayar periksa simbok. Karena berbakti pada ibu lebih baik daripada memilih orang tak dikenal buat jadi pemimpin.

Jadi, ia lekas mandi, sarapan, lalu pamit pada simbok seraya mengutarakan maksudnya. Sambil terbatuk-batuk simbok tersenyum lebar, mengamini niat anakknya.

Tapi ketika Sutardi membuka pintu, seseorang sudah berdiri didepan pintu rumahnya. Dia adalah Iwan, anak juragan beras Pak Karim, salah satu calon pemimpin.

“Mas, Sutardi,” Sapa Iwan dengan sungkan,”Saya dengar Simbok lagi sakit ya?”

“Iya.” Jawab Sutardi singkat. Ia tidak ingin membuang waktu untuk sampai ke pasar. Takut kedahuluan kuli yang lain.

“Eh, begini mas… ini ada titipan dari bapak buat Mas Sutardi. Siapa tahu bisa membantu periksa Simbok” Lalu Iwan menyerahkan sebuah amplop tebal kepada Sutardi.

Sutardi membuka amplop itu. Isinya? Lebih dari cukup untuk sekedar periksa ke puskesmas.

“Tapi, Saya minta tolong… nanti kalo mas milih, tolong pilih bapak ya.” Iwan berkata pelan, terus langsung pergi ke sebelah, dan melakukan hal yang sama.

Sutardi melongo. Terpaku didepan pintu rumah nya sendiri.

“Siapa itu tadi le?” Ibu nya memanggil dari dalam?

Sutardi diam. Tak tahu harus berkata apa.

12 april 09
00.38 waktu kompie Program Director

NB: Hahaha, maaf kalo topiknya sudah tidak hangat lagi 🙂


0 Responses to “Sutardi”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


February 2010
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728

Categories

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 2 other subscribers