Archive for the 'Uncategorized' Category

16
Mar
10

Bloody March!!!!!

Disela-sela tugas di kantor dan kuliah yang sangat menguras space waktu luang, saya tetap meluangkan ‘sedikit’ waktu buat ngegame. Hahahaha, mari kita mengacu pada Om enstein bahwa waktu adalah relatif, maka saya tidak akan mengatakan berapa tepatnya waktu yang saya habiskan untuk ngegame dalam satu hari atau seminggu. Katakanlah, jauh berkurang dibanding yang dulu.

Sekarang saya lebih fokus ke kuliah. Mulai meminjam & membeli buku (walaupun kadang cuma dibaca sebentar karena, sumpah — ternyata buku adalah obat ngantuk paling manjur — hehehe), daftar les ini-itu,dan (mulai) fokus lagi ke pekerjaan kantor yang sudah banyak menumpuk.

Baiklah, eh, begitulah maksud saya.

Oh iya, ada yang spesial di bulan ini (kalo nggak mada yang spesial ngapain juga saya nulis ginian….). Ketika februari kemarin orang2 pada membahas tentang cinta, maka maret yang seharusnya bulan musik & film nasional ini, saya dibombardir berbagai hal bertema gore.

Menurut wikipedia, kata Gore berarti ‘Scene kekerasan dalam gambar yang relistis dan menggambarkan luka fisik yang menampilkan darah, daging, tulang, dan otak manusia secara eksplisit.’

Well, itulah yang saya dapatkan bulan ini. Mulai dari nonton ‘Friday the 13th‘, direkomendasikan buat download ‘Haute Tension’ (dan akhirnya ikut menonton), beli novel ‘Fight Club’, pinjam buku ‘Kumpulan Budak Setan’, dan akhirnya:

Jeng-jeng-jeng-jeng!

->Menginstal ‘Man Hunt 2’!!!!!!!  (setelah saya kesal dengan ‘Gears of War’ yang penuh bug….)

Blood, blood, blood. Plenty of blood….


It’s, Bloody march…. HAHAHAHAHAHAHAHA!!!!! 😀

12
Feb
10

Eternal Memory

Angin berhembus perlahan, menerpa wajahku yang sayu. Menerbangkan setiap helai rambutku. Deburan ombak yang ramai dan kesunyian yang senyap menyatu, membentuk satu simfoni pantai di bawah sinar bulan purnama. Persis beberapa tahun yang lalu, berapa tahun? Ah,aku sudah lupa. Terlalu banyak hal yang terjadi setelah itu. Toh itu tidak terlalu penting bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di hari itu.

Aku ingat, rud. Aku ingat. Aku ingat sampai ke detailnya. Apa yang kamu ucapkan, baju yang kamu pakai, aroma tubuhmu, bahkan cara pandang dan nada bicaramu pun aku masih ingat hingga sekarang.Aku ingat, rud. Aku ingat, saat itu pukul sebelas malam. Saat dimana tak ada orang lagi di pantai ini. Dimana sinar purnama menyinari garis horison pantai nun jauh disana.Waktu bagi para manusia untuk terlelap dalam buaian mimpi indah mereka. Tapi kita berbeda. Iya kan, rud?

Seingatku, saat itu kita tengah berburu foto untuk salah satu tugas kita…ah, lagi-lagi aku lupa tugas apa itu.

Hahaha… aku selalu tertawa kalau mengingat masa masa itu. Kita ambil apa saja yang menurutmu menarik. Jepret sana jepret sini. Kita berdua persis kayak orang kesetanan dikejar deadline.Di sela-sela perburuan itu kita masih sempat tertawa. Kita berdua…aku dan kamu…Rudi dan Luna…

“Luna, kalo kamu ngantuk, istirahat dulu, biar aku yang ambil fotonya.” Begitu katamu padaku setiap menit.
Dan aku selalu menjawab kata-katamu itu dengan sebuah senyuman. “Ayolah rud, kau sudah kenal seperti apa aku ini. Aku bukanlah tipe orang yang gampang menyerah.” Jawabku dalam hati.

Dan buktinya, aku berhasil berburu gambar denganmu hingga matahari terbit. Kakiku rasanya mau copot, harus berjalan sepanjang malam. Dan seperti yang aku duga, kau membimbingku dan mengatakan padaku dengan lembut, “Kan sudah aku bilang, kalo kamu capek istirahat dulu di pondok.”.

Apakah itu karena kamu (terlalu) perhatian padaku atau kamu hanyalah tipikal cowok yang cerewet, aku tidak tahu.

Seingatku, kita bukanlah sepasang kekasih. Bukan pula sahabat dekat. Kita hanyalah dua orang dari tempat yang berbeda, yang…ah, aku ingat sekarang! Saat itu kita sedang mendapat tugas untuk mengambil gambar bayi-bayi penyu yang sedang menetas.

“Hai cantik, boleh aku tahu namamu? Perkenalkan, namaku Rudi. Aku dating dari…” bla-bla-bla.
Apa kau tahu Rud, kalau pada saat itu juga, aku mulai menyukaimu. Padahal kamu bukan orang yang ganteng, juga nggak pinter-pinter amat. Kamu bukanlah tipe pria yang aku inginkan. Entahlah Rud,yang pasti, aku menyukaimu tanpa sebab. Dan mulai saat itulah kita berdua menjadi dua orang yang mencoba untuk saling mengerti, memahami,dan saling jaga. Semuanya berjalan dengan alami, sampai hal itu terjadi.

Matahari sudah menampakkan wujudnya. Menyinari wajahmu yang kusut karena belum tidur semalaman. Tapi aku tahu, dibalik wajahmu yang kusut itu, tersimpan perasaan puas karena telah mengumpulkan banyak foto.
Dan saat itulah…
Saat kau berjalan di depanku,
Saat kau menuju kearah mobilmu,
Saat kau ingin meninggalkan pantai ini,
Saat kau ingin meninggalkan diriku,
Saat itulah sekonyong konyong tanganku menahan jemarimu, memaksamu unuk berhenti sejenak.

“Luna, aku…maksudku, aku sangat senang sekali dapat berjumpa denganmu. Aku tak akan dapat melupakan perjumpaan kita yang sejenak ini. ” Katamu seraya memandangi cincin kawin di jari manismu.
Tapi aku tak ambil pusing dengan itu. Karena aku menyukaimu.
Tulus.

“Kapan kita dapat bertemu lagi?” Tanyaku padamu. Lalu dengan tersenyum, kau menjawab pertanyaanku. Tapi… aahhh… lagi-lagi memoriku error. Aku tidak dapat lagi mengingat apa yang kau katakan saat itu.

———

Angin berhembus perlahan, menerpa wajahku yang sayu. Menerbangkan setiap helai rambutku. Deburan ombak yang ramai dan kesunyian yang senyap menyatu, membentuk satu simfoni pantai di bawah sinar bulan purnama. Persis beberapa tahun yang lalu.

Di sini, tempat kita berdua pernah memotret penyu penyu itu, aku menunggu dirimu. Setiap hari, Setiap waktu, Setiap saat. Dan hari ini, aku melihat seorang kakek berjalan menyusuri garis pantai. Ditangan nya tergenggam seikat bunga. Dibawah sinar bulan purnama, aku melihat wajah yang sayu, sama spertiku. Orang ini terus berjlan sampai di samping gubug tua. Dia berjongkok dekat situ, lalu bergumam dengan lirih, tapi aku masih dapat mendengarnya,

“Terima kasih kamu sudah menungguku selama ini. Maafkan aku yang lupa akan janjiku. Kupikir aku adalah jenis laki-laki yang tak akan lama diingat orang. Tapi kau begitu sabar menungguku. Aku juga sudah mendengar kabar tentang seorang nenek yang terseret ombak. Dan saat aku tahu kalau itu kau, aku segera datang ke tempat ini. Dan karena jasadmu yang belum ditemukan, kupikir aku akan meletakkan bunga ini disini. Ditempat yang sama saat kita pertama kali bertemu. Terimakasih luna, terima kasih.” Lalu kakek itu berkomat-kamit membaca doa untukku.

Tak usah berterimakasih padaku, Rud. Aku menunggumu sebab aku suka. Kau tidak perlu susah-susah membalas rasa ‘’suka’’ ku padamu. Karena aku menyukaimu.

Tulus.

12
Feb
10

Sutardi

Pagi itu, Sutardi membuka matanya dengan perasaan tidak nyaman. Bukan karena sajadah yang ia tiduri berbau apek, atau posisi tidurnya yang ‘njingkrung’. Sutardi memang sudah merasa tidak nyaman semenjak ia bangun tadi pagi, sebelum sholat subuh, sebelum ambil air wudlu. Hari ini negaranya mengadakan ‘gawe’. Yakni sebuah voting suara untuk mencari sosok pemimpin yang baik. Sutardi jadi teringat Orang-orang ber jas dan berdasi yang sering nongol di TV itu. Mereka menyebutnya ‘Pesta Demokrasi’.

Tapi hal itu tidak berlaku bagi Sutardi. Di dalam kamus hidupnya tidak tercantum kata itu. Baginya, hari ini adalah hari dimana dia memilih salah satu nama dan gambar beberapa lembar kertas. itu saja, titik. Apakah kertas itu nantinya akan sampai pada orang-orang pintar itu atau hanya akan sampai ditengah jalan, ia tidak tahu. atau lebih tepatnya, tidak peduli.

Ia ingat kemarin, saat dirinya bertanya pada simbok nya, siapakah yang akan ia pilih. Lalu dengan santai Ibunya menjawab, “Ealah… mbok ya nggak usah ngoyo. Inget dulu waktu pak Kades mencalonkan diri jadi… apa itu namanya? Caleg ya? Dia dulu janji macem macem. Katanya nanti akan ada bantuan banyak buat orang miskin. Lha sekarang? Raskin aja diembat! Sudahlah Di. Kamu itu ngibadah saja yang bener. Berdoa sama gusti Allah. Biar cepet dapet kerjaan. Jangan mau kalah sama Maryono. Dia itu habis lulus STM langsung kerja!”

Sambil kedap-kedip Sutardi mencerna kata-kata simbok. Benar juga. Intinya, apapun yang dia pilih, hidupnya tidak akan lebih baik dari ini. Dan janji janji itu? Ah, anget anget tai kucing. nanti kalau sudah kepilih pasti pada lupa.

Baru sekejap ia berpendapat seperti itu, pikirannya langsung melayang ke beberapa hari yang lalu. Mas Bayu, satu satunya tetangga nya yang mengenyam bangku kuliah, punya pendapat lain. Ia ingat, saat itu mereka tengah ngobrol di pinggir lapangan, melihat anak-anak kecil bermain bola.

“Dik Tardi, kamu jangan pesimis gitu dong. Proses pemilihan ini penting lho. setiap suara dari kita akan ikut menentukan siapa yang akhirnya siapa yang jadi pemimpin kita. Pilih orang orang yang bener. Soalnya, kalau yang terpilih itu orang orang yang salah, ya… tamatlah kita”

Kemudian Mas Bayu menegadah, memandang ke langit. Sutardi juga ikut menengadah. Ia penasaran apa yang dilihat Mas bayu kala itu. Tapi tak ada yang ditangkap mata nya selain sobekan awan tipis yang bergerak pelan. “Kita ini adalah Negara.” Mas bayu melanjutkan,”Kalau bapak-bapak itu mati, ya kita ini penerusnya. Nah, kalau dari sekarang saja kita sudah apatis, lalu mau jadi apa Negara ini?”

Pilih yang bener? Tamat? Kini Sutardi kembali keatas sajadah apek nya.

Bukankah setiap orang pasti memilih ‘yang bener’? Terus, bukankah hasilnya juga sama saja? Sama tidak berubah nya. Sama miskinnya. Sama tamatnya seperti sebelum memilih? Lalu apa salahnya kalau sekarang dirinya jadi apatis? Toh semuaya sama saja.

Sutardi mengubah posisi njingkrungnya. Bunyi gemelatuk ringan terdengar basah dari punggungnya. Tapi ia segera menyadari kalau Mas Bayu adalah mahasiswa. Kata orang, yang jadi mahasiswa itu pasti orang pintar. Dari kalangan mahasiswa lah para konglomerat dan politikus berasal. Bukan dari lulusan STM pengangguran seperti dirinya. Ah, mungkin ilmu ku belum sampai,pikir Sutardi sambil diam-diam menyetujui pendapat Mas Bayu.

‘Ah, aku akan mencontreng hari ini!’ Tekadnya dalam hati seraya bangkit, lalu melipat sajadah dan melepas peci nya. Dan ketika menyentuh peci –yang lebih apek dari sajadahnya itu- Sutardi sekonyong-konyong langsung teringat akan wejangan Ustadznya. Pemilu bukan hanya masalah memilih. Tapi juga tanggung jawab. Tanggung jawab dari calon pemimpin, pemilih, panitia pemilihan, bahkan sampai yang nyinom. Soalnya, semua itu akan dipertanggung jawabkan di akherat nanti. Ketika kita memilih orang yang salah, maka dosa kita akan digabung dengan orang-orang yang ‘salah memilih’, ditambah dosa pemimpin dan antek-anteknya. Kalau Ustadznya mengistilahkan, Dosa Jariyah.

Sinar matahari mulai masuk melalui celah jendela kayu nya, membentuk garis debu tipis. Sutardi makin bingung. Separo dari dirinya menyuruhnya untuk menjadi bagian dari proses pemilihan, untuk menjadikan negaranya lebih baik. Tapi separo yang lain takut akan dosa yang begitu banyak…kalau ternyata ia memilih orang yang salah.

“Uhuk…uhuk…uhuk” Dari dapur, Sutardi mendenar Simboknya batuk. Ia sadar, kalau penyakit batuk ibunya tambah parah. Pak Mantri berkali-kali menyarankan simbok untuk periksa ke puskesmas. Tapi simbok menolak. Katanya, daripada dipakai buat periksa, lebih baik untuk beli beras. Ya ya ya, Ia sadar kalau yang namanya ekonomi itu bisa mengalahkan apa saja.

Apa saja. Termasuk kesehatan diri.

Tiba-tiba Sutardi dapat ide. Daripada ia memilih dan kemungkinan mendapat dosa besar, ia pergi ke pasar. Siapa tahu ia bisa ‘Nguli’ disana. Kan hari ini banyak kuli yang libur. Lumayan buat mbayar periksa simbok. Karena berbakti pada ibu lebih baik daripada memilih orang tak dikenal buat jadi pemimpin.

Jadi, ia lekas mandi, sarapan, lalu pamit pada simbok seraya mengutarakan maksudnya. Sambil terbatuk-batuk simbok tersenyum lebar, mengamini niat anakknya.

Tapi ketika Sutardi membuka pintu, seseorang sudah berdiri didepan pintu rumahnya. Dia adalah Iwan, anak juragan beras Pak Karim, salah satu calon pemimpin.

“Mas, Sutardi,” Sapa Iwan dengan sungkan,”Saya dengar Simbok lagi sakit ya?”

“Iya.” Jawab Sutardi singkat. Ia tidak ingin membuang waktu untuk sampai ke pasar. Takut kedahuluan kuli yang lain.

“Eh, begini mas… ini ada titipan dari bapak buat Mas Sutardi. Siapa tahu bisa membantu periksa Simbok” Lalu Iwan menyerahkan sebuah amplop tebal kepada Sutardi.

Sutardi membuka amplop itu. Isinya? Lebih dari cukup untuk sekedar periksa ke puskesmas.

“Tapi, Saya minta tolong… nanti kalo mas milih, tolong pilih bapak ya.” Iwan berkata pelan, terus langsung pergi ke sebelah, dan melakukan hal yang sama.

Sutardi melongo. Terpaku didepan pintu rumah nya sendiri.

“Siapa itu tadi le?” Ibu nya memanggil dari dalam?

Sutardi diam. Tak tahu harus berkata apa.

12 april 09
00.38 waktu kompie Program Director

NB: Hahaha, maaf kalo topiknya sudah tidak hangat lagi 🙂

18
Mar
09

The Misuh: Evolution

shut-the-fuck-up

Beberapa jam yang lalu, saya membaca sebuah artikel tulisan Sabrang Mowo Damar Panulih (Noe Letto) di majalah Rolling Stone Indonesia edisi maret. Tidak banyak yang saya mengerti tentang isi artikel itu, karena saya masih awam dengan dunia musik (hahaha,saya lebih mengerti -dan tertarik- dengan keluarnya Shinji Mikami dari proyek Resident Evil 5 daripada ditanya jumlah anggota gun’s n roses 🙂

Nah, yang membuat saya tertarik dengan artikel itu adalah intermezo nya. Ada banya kata ‘fuck’ disitu… sekaligus (sedikit) menggali makna nya (hahaha, cukup kaget juga sebenarnya membaca majalah musik sekelas Rolling Stone memuat banyak kata ‘fuck’ tanpa sensor 🙂

Di artikel itu dibeberkan betapa banyak arti dari kata ‘fuck’, sekaligus betapa sering orang barat menggunakannya, entah sebagai sumpah serapah, penggambaran kebahagiaan, sebagai kata tunggal, atau disisipkan di sela-sela kalimat. Well, saya memang bukan ahli bahasa (mengerti pun kadang tidak… makanya saya menulis tulisan ini). Namun yang jelas, bahwa kata ‘fuck’…  atau kita generalisasikan sajalah…  Sumpah serapah…ah, terlalu panjang… mengumpat… Misoh! (misoh itu bahasa jawa-nya mengumpat 🙂

Ah, saya suka yang terakhir. Singkat, Padat, Jelas, dan (sangat) bisa diucapkan dengan sepenuh hati nurani:  MISOH!!!!

Menurut bahasa (halah) misoh dapat didefinisikan sebagai… apa ya? Jangankan makna nya. Arti per kata nya pun saya belum tahu.

Tadi sore misalnya, saya berdiskusi dengan Om Bollie -Music Dirrector saya- tentang arti dari ‘gathel’. Nah, dari diskusi tadi, dapat ditarik kesimpulan, bahwasannya kata ‘gathel’ sedikitnya mempunyai dua arti. Yang pertama yakni serapan dari kata ‘gatel’ yang biasa digunakan untuk menggambarkan perilaku caper yang keterlaluan. Yang kedua, ‘gathel’ bisa berarti mempersetankan (me-tidak menghiraukan) -> Maaf banget kalau bahasanya kacau ya T__T

Nah, kalau diperluas, ternyata banyak juga kata kata pisuhan (bentukan dari kata ‘misoh’) yang tidak saya mengerti artinya. Ambil saja yang paling kasar: Bajingan. Ada yang tahu artinya? Apakah bisa diartikan ‘seperti bajing’ (tupai)? Lalu apa salahnya kalau manusia bertingkah kayak bajing sampai-sampai kata itu mendapat strata paling tinggi?

Oke, kembali pada kegiatan (eh, ini kata kerja kan?) misoh ini, awalnya dipandang sebagai sesuatu yang tabu… jorok… dosa… setidaknya waktu kita masih kecil, oleh siapa pun itu biasanya sih, oleh orang yang lebih tua…). Namun saat kita lihat sekarang, misoh adalah bagian dari hidup. Misoh menjadi ice breaker, atau setidaknya menjadi kata pengganti salam untuk teman dekat (ya, memang tidak terjadi pada tiap orang sih….tapi kalau pun itu tidak terjadi pada diri kita –alhamdulillah– minimal kita bisa liat diluar sana lah)

Ini berarti, misoh telah Berevolusi!

Saya tidak menyebutkan berubah arti lho ya. Karena dari dulu ampe sekarang… ampe nanti insyaallah, tetep buruk (hahaha, subyektif… yo ben! Ya biar!). Yang saya maksudkan di sini adalah ber-evolusi. Berubah wujud secara perlahan menuju satu wujud lain. Apakah berevolusi positif atau negatif, saya tidak tahu. Tapi yang jelas berevolusi.

A: “Weh, B, suwe ra ketemu? neng ngendi wae kowe? biajingani… lemu tenaaan awakmu! cocok karo susune po?”

B: “Lonthei! lagi wae ketemu langsung mbajing-mbajingke kancane! hahaha, lha kowe dewe piye? kerjo neng ndi saiki?”

…Ya,begitulah kira-kira contohnya. Saya bukan termasuk orang yang asyik masyuk bermisuh-misuh ria. Tapi kalau mau jujur, sebenarnya ada semacam energi ‘hangat’ yang keluar dari pisuhan itu, meresap melalui lubang telinga, dan akhirnya merembes ke hati… Cita rasa persahabatan konco kenthel… hehehehehehe  XD

Aneh ya? (hahaha… Produser saya sering sekali orang itu mengucap 2 kata ini)… padahal hanya kata-kata yang tidak saya mengerti arti tepatnya…. seperti mantra.

he, mantra?

Waduh, asemi! butuh penelaahan lebih lanjut lagi nih….

18-03-09

Kantor Sunyi,

Jam sepuluh lebih sedikit,

Seraya berdoa agar artikel ini tidak di hapus admin nya ~___~




May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Categories

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 2 other subscribers