Archive for the 'Cerpen' Category

12
Feb
10

Dibalik Jendela Pagi

Ada akhir di suatu awal.
Ada awal di dalam akhir.

Hari ini, akan kubuktikan kebenaran dua kalimat itu.

Fajar baru saja mengintip dari ufuk timur. Manusia-manusia itu pasti masih saja bergelut dengan sisa mimpi, sisa kemarahan, kesedihan, kesenangan, ataupun dengan sisa sperma selingkuhan masing-masing.Mereka tidur.

Dan aku? Aku sedang meluncur dengan kecepatan entah berapa kilometer per jam. Rambut panjang yang sedari dulu kubanggakan ini pun tertarik lurus kebelakang, dan melambai-lambai pada ujungnya. Tubuhku yang dari kemarin terbungkus setelan blazer hitam yang sama, kaku dan tegak lurus. Memang kurang nyaman, tapi aku sadar bila ku ubah sedikit saja posisinya, maka itu akan mengacaukan lintasan luncur yang telah ku rencanakan.

Tau kemana aku meluncur?
Aku sedang meluncur kepusat grafitasi bumi.

Tau bagaimana posisiku?
Kepalaku ada dibawah.

Tau darimana aku melompat?
Dari lantai 14.

Salah kalau ruang dan waktu selamanya akan berada dalam satu kesatuan. Karena saat ini, perjalananku dari lantai 14 menuju permukaan aspal di daerah urban ini, terasa seperti slow motion. Semua yang aku lewati, lantai-lantai berdinding kaca itu, dapat aku hitung dengan santai. Bukan hanya sampai disitu, bahkan aku dapat melihat isi tiap-tiap ruangan dengan jelas. Kursi-kursi yang tertata rapi di depan komputer, berkas-berkas yang berserakan tertumpuk diatas meja masing-masing, lampu penerangan yang belum dimatikan, Dan beberapa tenaga cleaning service yang bekerja dengan rajinnya untuk mengejar setoran di pagi buta ini.

Semua pemandangan itu terjadi begitu cepat sekaligus lambat. Hingga seakan-akan ruang dan waktu berpisah dan tidak saling mempengaruhi. Dan kondisi tersebut terus berlangsung sampai aku melihat seorang laki-laki ber-sweeter hitam polos dibalik kaca jendela.

Laki-laki itu menatapku.

Di lantai berikutnya, laki-laki itu kembali hadir. Dibalik jendela, di tempat yang sama, pose yang sama, dan pakaian yang sama.

Lantai berikutnya, dia melangkah maju menuju jendela. satu langkah.

Lantai berikutnya, dia maju selangkah lagi.

Satu langkah,

Satu langkah,

Satu langkah,

Satu langkah tiap lantai.

Dan ketika laki-laki itu merapat di jendela, mulutnya bergerak, “kau sedang apa?”

Anehnya, keberadaan laki-laki itu tidak membuat diriku. Justru sebaliknya, perasaan nyaman mulai menjalar dari dalam dada.

“Aku sedang terjun.” Jawabku dengan datar.
“Kau bunuh diri?”
“Ya, seperti itulah. Kau siapa?”
“Aku? aku hanyalah seorang perantara.” Dia berhenti sebentar, ” Perantara yang akan mengantarkan mu kepada Nya”

Lantai itu terlewati. Di lantai dibawahnya, laki-laki itu memasukkan tangan kirinya ke saku celana, dan menempelkan telapak tangan kanannya ke jendela.

“Jadi kau malaikat maut?”

Laki-laki itu tersenyum, “Banyak yang menyebutku demikian. Tapi aku sendiri lebih nyaman dengan sebutan Tuan Perantara.”

“Oh…” Aku sedikit kaget. Bukan karena kemunculannya. Tapi lebih ke pembawaan diri Sang Perantara ini.

Di lantai berikutnya, orang ini duduk di kursi dengan koran yang terbuka dihadapannya. Bola matanya bergerak dari kiri ke kanan,terlihat serius membaca artikel di koran itu. Sejurus kemudian, dia sedikit mengangkat wajahnya ke arahku. “Jadi, kenapa kau sampai memutuskan untuk terjun dari kantormu sendiri di pagi buta begini, Siska? Oh, dan jangan tanya kenapa aku tahu namamu. Jawab saja” Kini pandangannya menajam,“yah, sekedar menghabiskan waktu, daripada aku harus menunggui dirimu bengong sampai menjadi bubur merah di permukaan aspal nanti”

Aku menghela nafas. Tak pernah terpikirkan olehku untuk berbincang-bincang dengan malaikat penjemput nyawa. Apalagi disaat aku melakukan bunuh diri. Namun tentunya semua itu kini tak penting lagi. Karena toh, sebentar lagi aku akan mati. Jadi, kuputuskan untuk menceritakannya saja, “Kau tahu? Melihat suami tidur dengan anak gadisnya sendiri bukanlah pemandangan yang bisa kau temui setiap hari.”

Dilantai berikut, laki-laki itu berdiri membelakangiku, sibuk menyalakan sebuah proyektor. Setelah proyektor berhasil dinyalahkan, di layar muncul gambaran persis tentang apa yang baru saja dialami dirinya beberapa jam yang lalu. Seakan-akan gambaran itu direkam langsung dari dalam mataku. Atau mungkin begitulah adanya.

Mencoba tak terganggu dengan pemandangan itu, aku melanjutkan cerita. “Aku memang bukanlah sosok ibu yang baik. Setiap hari hanya ku habiskan dengan duduk didepan komputer, menyelesaikan segala administrasi perusahaan.Keluarga terbengkalai. Aku tidak tahu dengan siapa anakku bergaul, bagaimana anakku di sekolah….”

Dan emosi ku mulai mencuat.

“Tapi semua itu kulakukan untuk keluarga, bangsat! Suami ku sudah lama tidak bekerja semenjak ia mengalami kecelakaan sialan itu…..yang menyebabkan satu kakinya lumpuh….” Air mata ku mengalir, kemudian pecah, bergabung dengan partikel udara di sekitarnya. “Dan bagaimana perasaanmu ketika….. ketika kau sudah habis-habisan mencari uang, kemudian menemukan anak kandung kalian…. ANAK KANDUNG MU TIDUR DENGAN SUAMI MU SENDIRI…. padahal dia darah dagingnya sendiri…..”

Bagaimana perasaanmu?

He? Bagaimana perasaanmu perantara?

Namun laki-laki itu tidak menjawab. Dengan serius dia memperhatikan visualisasi di layar proyektor. Di situ tergambar debngan gamblang bagaimana aku membuka pintu kamar suamiku, dan menemukan dua orang itu saling bergelut tanpa busana. Bagaimana ekspresi kekagetan si suami dan si anak, perasaan marah yang amat yang tak terjelaskan dengan kata-kata. Semua terlihat jelas.

Baru di lantai berikutnya, laki-laki itu menjawab, “Jadi karena kemarahan dan rasa kegagalan mu sebagai ibu-lah yang menyebabkan engkau, saat itu juga kembali ke kantor dan melakukan ini?”

Aku tidak menjawab. Kata-kata tidak akan bisa menjawab pertanyannya. Justru aku yang balik bertanya, “Jadi kamu mau apa? Menjebloskan aku ke Neraka?”

“Oh, tidak. Itu bukan urusanku. Urusanku hanyalah mengantarkanmu ke dunia berikut.”

————

Selama beberapa lantai kami tidak berbicara. Kami hanya saling menatap. Dan selama itu pula, aku sudah bisa menghitung sisa-sisa lantai yang harus ku tempuh sebelum akhirnya aku menempel di aspal.

Lantai lima,
Kami masih berdiam. Berbagai pikiran dan emosi berkecamuk di dalam sadar.

Lantai empat,
Laki-laki itu berjalan menjauh, “Baiklah. Setidaknya terimakasih telah membagi cerita denganku. Tidak setiap orang seperti dirimu.”

Lantai tiga,
“Jadi…hanya begitu saja?”

Lantai dua,
Dia membuka kenop pintu ruangan, “Iya. Titik. yang akan terjadi selanjutnya bukanlah urusanku. Selamat tinggal.” lalu ia keluar. Namun sebelum menutup pintu kembali, keplanya menyembul dengan sesungging senyuman,“Tolong jangan diambil hati ya. Aku ini hanya menjalan kan tugas kok.”

…dan pintu itupun tertutup rapat.

Lantai satu,
Aku hanya mengangguk.

Lalu tersenyum, entah atas dasar apa.

December 5th, 2008
12
Feb
10

Dibalik Jendela Sore

Perasaanku mengatakan kalau sore ini akan berjalan seperti sore-sore yang lain. Karena toh, tidak ada yang istimewa di sore ini. Beberapa orang yang sepulang kerja lewat di depan rumah masih menyisakan senyum mereka untuk kekasih hati mereka di rumah. Matahari masih berkejaran dengan sobekan-sobekan awan, untuk menunjukkan siapa yang lebih dulu tenggelam di ufuk sebelah barat. Tak ketinggalan juga semilir angin sepoi yang menggugurkan dedaunan pohon di halaman rumah. Semua masih terlihat normal dibalik jendela lantai dua kamarku.

Begitu damai dan nyaman.

Di dalam rumah pun terjadi hal yang serupa. Semuanya berjalan dengan normal. Suara teriakan  dari basement masih terdengar jelas walaupun dari tempatku berada. Dan itu berarti dua hal: Satu, Ayahku masih sehat dan normal. Dua, Ibu, dengan kesabaran nya yang luar biasa masih tulus mengikuti ritual ‘pendisiplinan’ dari ayah.

Aku sendiri tak tahu apa yang dilakukan ayahku di sana, karena aku tidak memiliki akses menuju basement. Ayah sudah berulang kali melarangku dengan cerita-cerita hantu di tempat itu. Sebenarnya akupun tahu kalau itu adalah cerita rekaan ayah untuk menutupi perbuatannya… tapi rasanya itu sudah cukup untuk membuatku tidak mendekati pintu basement. Tapi yang jelas, seperti yangayah bilang padaku, kalau ini semua dilakukan agar ibu menjadi satu sosok yang disiplin. Satu kata yang sangat disukai oleh ayah.

Dan di saat seperti ini, biasanya aku hanya berdiam diri, dan melakukan apa yang biasanya dilakukan anak umur 14 tahun lainnya. Yakni meringkuk pasrah di pojok kamar sembari menutup telinga dengan kedua tangan.

Nyaman, hangat, dan aman.

Kemudian, ketika teriakan ibu makin jelas terdengar, biasanya Suster Lily, pengasuh adik ku yang masih balita datang ke kamarku. Dan benar saja, beberapa detik setelah teriakan dibawah berubah dari teriakan kesakitan menjadi (lebih mirip) lolongan hewan, Suster Lily datang.

Dengan lembut dan hampir tak bersuara suster Lily membuka dan menutup pintu. dan dengan gerakan yang sama dirinya bersimpuh di depan lelaki yang sedang ketakutan ini. selama beberapa saat mata kami beradu. dengan jelas muka cantik itu terlihat olehku. Benar-benar tanpa cacat. Namun bukan itu yang menarik perhatianku. Melainkan pandangan matanya. Terdapat sesuatu di dalam pandangan matanya. Sebuah pendangan yang belum pernah aku temui. Bahkan dari Ibuku sendiri. Terasa ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.

Padaku. Bukan orang lain.

Kemudian, sekonyong-konyong, suster Lily memeluk ku dengan erat. Meredam tubuhku yang gemetaran.

Terasa lebih hangat, lebih nyaman, dan lebih aman.

Aku pun membalas pelukannya  dengan memeluknya lebih erat lagi.

Disela-sela  lolongan Ibu dan hangatnya pelukan Suster Lily, aku merasakan bahwa  sore ini berjalan seperti sore-sore dihari yang lain.

November 22nd, 2008

12
Feb
10

Sam & Martha

Sam

Di bawah matahari yang hangat,
Si kecil Sam mengayuh dengan kuat.
Sepedanya melaju hebat,
Bagai orang nekat.

Topi pet dipakai terbalik,
Sambil sekali terkikik,
Tak peduli walau rantai berbunyi Ngik-ngik.
Perasaan Sam sedang baik.

Di lampu merah, dia berhenti.
Melirik jam tangan, ternyata masih pagi.
Tapi dia harus hati-hati,
Karena bisa terlambat nanti.

Hijau menyala, Sam langsung ngebut.
Meninggalkan bising kota yang ribut.
Menuju pedesaan yang lembut,
Melewati kakek penggembala yang manggut-manggut.

Di kejauhan, suara mesin kereta api yang baru datang memekakkan telinga.
Artinya, sebentar lagi, dia sampai di stasiun tua.
Sebuah tempat dimana orang itu menunggunya,
Martha.

Martha

Perempuan kecil ini heran,
Ia terus dilihati oleh orang lalu-lalang yang tidak menyenangkan.
Dan duduk sendiri itu menyebabkan bosan.
Kesimpulannya, menunggu bukanlah suatu pekerjaan.

Karena suntuk, Ia lalu melangkah
Memandangi langit biru yang indah,
Di bawah arsitektur bangunan yang tak begitu megah.
Tersenyum, menunggu pangeran cilik nan gagah.

Tiba-tiba, ayahnya memanggil
Lamunannya tersentil.
Ayahnya memanggil lagi, “Ayo pulang, anak kecil”

Kereta api itu datang tepat waktu.
Suaranya yang keras menggembirakan para penunggu.
Martha tidak berharap seperti itu.
Ia ingin terus menunggu.

Tapi apa daya,
Pak petugas sudah mengangkat tanda.
Jadi, tak ada pilihan lain buat Martha,
Selain memandang keluar jendela, berharap ia ada.

Sam & Martha

Teng-Tong-Teng-Tong-Teng-Tong….

Sam berlari, masuk ke dalam stasiun

Kereta api jurusan Kota Baru akan segera berangkat….

Tangan Sam menyeruak kerumunan.

Para pengantar dimohon segera keluar dari kereta….

Paket yang ia bawa terus ia dekap. Ia tak ingin ada kerusakan sekecil apapun.

Sekali lagi, bagi pengantar mohon segera keluar….

“MARTHA!” Sam berteriak,memanggil seorang gadis didalam kereta.

“Sam!?” Balas permpuan itu. Wajahnya senang sekaligus kaget.

“Ini album fotonya, maaf baru jadi” Kata Sam seraya menyerahkan sebuah album lewat jendela.

“Oh, bagus sekali!” Martha terpana, menggoreskan jemarinya pada sampul album itu, dimana tulisan warna emas tercetak diatasnya: Adi & Martha’s Wedding, “Ya ampun, kenapa harus repot-repot? Kan bisa di paketin…..”

Belum selesai Martha menyelesaikan kalimatnya, kereta mulai berjalan pelan….

“Eh, Sam, uangnya aku transfer ke rekeningmu ya!”

“Siap!” Sam mengacungkan jempolnya.

Martha

Ketika kereta berjalan lebih kencang, Martha membuka jendela lebih luas. Kepalanya tersembul dari situ. Ada banyak kata yang ingin ia ucapkan, jutaan mungkin.

Tentangnya,
Tentang laki-laki itu,
Juga tentang impian mereka.

Tapi jarak yang semakin jauh membuat lidahnya tidak bisa mengabulkan inginnya.
Sam semakin kecil, semakin jauh dan semakin blur.
Namun bagi Martha, Sam tetaplah seperti dulu. Muda, enerjik, dan menempati satu ruangan hatinya.

“Fotografer yang baik” Suaminya, Adi, yang duduk disamping mengomentari.

“Iya, bagus kan?” Martha memamerkan sampul album itu.

“Kok cuma sampulnya doang sih? Dibuka dong….”

Sam

Di Stasiun, Sam terus memandangi kereta itu sampai kecil.

“Wah, jarang-jarang kamu perhatian ama klien sampai segitunya” Ana, tunangan Sam memanggilnya dari belakang.

Sam mulai menyulut rokok, “Kami pernah berjanji dulu ketemuan disini kira-kira 14 tahun yang lalu, sebelum ia diajak ayahnya pindah ke luar negeri” Ia menghembuskan satu nafas penuh asap, “Tapi sayangnya aku terlambat. Dia tidak pernah terlihat lagi sampai kita dapet job foto dokumentasi pernikahannya”

“C L B K nih?”

“Bukan. Aku cuman nggak mau terlambat lagi kayak dulu. Siapa tahu aku nggak akan ketemu dia lagi.”

“Nah, itu buktinya!” Ana mulai ngambek.

“Hahaha, sudahlah, nggak usah cemburu. Toh dia sudah bersuami kan?” Ia mematikan rokoknya, lalu merangkul Ana, berjalan keluar, “Bagaimana dengan semangkuk mie ayam? Di sekitar sini ada warung mi ayam enak lho”


21 Januari 2010
1:52 PM
Di bawah mendung tipis
Di kamar kos yang damai
🙂

24
Dec
09

Semangkuk Sayur Hangat dari Ibu

Di siang hari yang panas itu, Mayang berjalan dengan cepat. Perpaduan antara ranselnya yang besar dan berat serta tubuh gembulnya yang terbalut seragam putih – abu-abu itu membuatnya terkesan seperti berlari tergopoh-gopoh. Tapi ia tidak peduli. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah pulang ke rumah dan menyingkir dari suhu jalanan yang panasnya tak karuan akhir-akhir ini. Bayangan air dingin yang segar dari kulkas dan nasi sayur hangat buatan ibu nya menjadi motivasi tambahan mayang untuk segera pulang.

Sesampai di teras, mayang langsung masuk begitu saja. Tanpa mengetuk pintu, tanpa melepas sepatu di luar. Suhu udara yang panas telah menjadikannya pelanggar hukum tak tertulis di rumahnya sendiri. Lagian, bukannya peraturan itu dibuat untuk dilanggar?

“Ibuuu…!” mayang berteriak sembari melintasi ruangan. Tak ada jawaban. Tapi suara ketukan pisau metal dan kayu yang bertempo tetap menandakan bahwa ada seseorang di dapur. Ibunya, mungkin.

Mayang segera berlari ke dapur. Dan memang benar, ada ibunya di sana, ditengah kepulan asap sayur, berdiri membelakangi mayang, sedang memotong sayuran.

“Ibu masak apa? Masih lama nggak?” Mayang bertanya, tapi ibunya tidak bergeming. Ia tetap saja memotong sayuran dengan pelan dan tenang. Mungkin ibu sedang marah karena ia tidak mengetuk pintu dan melepas sepatu di luar, pikir mayang. “Iya deh, maafin mayang. Tadi mayang nggak mengetuk pintu dan ngelepas sepatu di luar”

Tetap tidak ada jawaban.

“Tapi tadi panas banget bu…”
“Ya sudah, nggak apa-apa. Sana, kamu masuk dulu.sebentar lagi masakannya mateng” Akhirnya ibunya menjawab.
“Ah, terimakasih! Ibu baik deh” mayang mendekat, lalu memeluk dan mencium pipi ibunya dari belakang, “ Lho, badan ibu kok dingin banget? Ibu sakit ya?”
“Cuman lelah sedikit kok. Nanti selesai masak ibu mau istirahat”
“OK mum! Mayang tunggu di dalam ya!”

Setelah membuka kulkas dan mengeluarkan sebuah botol berisi air putih, mayang meninggalkan ibunya di dapur.

***

Jarum jam diding baru menunjuk angka 3 sore, tapi koridor rumah sakit itu sudah jarang dilewati orang. Hanya seorang perempuan muda yang dari pagi tadi duduk di bangku panjang yang berada di tempat itu. Wajahnya kuyu, rambutnya kacau. Sesekali wajahnya menegadah, tapi lebih banyak tertunduk. Tenggelam di dalam tangkupan telapak tangannya.

‘Sialan! Seharusnya aku tidak mabuk… seharusnya aku membiarkan si Eko yang nganter pulang ke rumah… seharusnya aku lebih hati-hati…. Seharusnya…. Ah, anjing!’ Perempuan itu mengumpat dalam hati sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah dilakukannya entah berapa kali.

Pintu di dekat perempuan itu akhirnya terbuka. Dari dalam, muncul seorang laki-laki paruh baya berjas putih. Dengan lembut orang itu menghampiri si perempuan, lalu duduk di sebelahnya. Si perempaun menoleh, menatap mata laki-laki itu penuh arti. Dan si laki-laki membalasnya dengan tepukan lembut di pundak si perempuan.

“Maaf…”, Kata laki-laki itu dengan pelan.

***

‘Tok-tok-tok….’
‘Tok-tok-tok….’
‘Tok-tok-tok….’

Mayang terhenyak, kembali ke dunia fana setelah cekikikan melihat acara favoritnya di TV. Sudah tiga kali pintu rumahnya diketuk, tapi ibunya belum membukakan pintu. Aneh, pikir mayang. Biasanya bila pintu depan diketuk, ibunya lah yang langsung meluncur, membukakan pintu. Tapi hari ini, hingga ketukan ketiga, bahkan ibunya suara ibunya belum ia dengar. Jadi, nampaknya mayanglah yang harus membukakan pintu.

Di luar, mayang mendapati dua orang teman sekelasnya, Amanda dan Martha. Mereka berdua terlihat cemas.

“Wah, tumben siang-siang maen? Ada apa nih?” Tanya mayang, “Ayo, masuk dulu”
“Mayang!” Amanda langsung memeluknya dengan erat.
“May, please jangan sedih ya” sahut Martha.
“Heh, ada apa sih?”
“May, kita tadi dapet laporan dari ayahku yang lagi jaga di rumah sakit…”
“Laporan apa?”
“Eee….. tadi pagi ibu mu kecelakaan waktu pulang dari pasar. Ibumu… meninggal di rumah sakit”
“Halah, kalian ini bilang apa sih? Ya nggak mungkin lah. Ibuku tuh sekarang lagi masak di da…pu…r”

Mayang sadar. Ada yang aneh dengan ibu nya hari ini.

Dengan cepat, ia langsung berlari ke dalam. “IBUUU! IBUUU!” sembari berteriak, mayang menyisir seluruh ruangan.

Ruang tamu, kosong.
Ruang makan, kosong.
Dapur, kosong
Kamar tidur, kosong
Kamar mandi, kosong.

Kosong

Mayang sadar ada sesuatu. Ada yang salah. Ada yang terlewat…
Masalahnya, dia sedang tidak ingin percaya pada apa yang baru saja disadarinya.

Dan di atas meja dapur, semangkuk besar sayur hangat tersaji rapi.




May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Categories

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 2 other subscribers