Archive Page 2

26
Oct
09

Merantau (Review)

Merantau adalah film action Indonesia yang Indonesia. Tak peduli apakah dia dibuat oleh Gareth Evans yang katanya telah membuat dokumentasi pencak silat selama 5 tahun pun, film ini masih Indonesia. Positively, and negatively too . Merantau, secara gambalng juga bisa dikatakan sebagai kelahiran kembali nya film-film action bela diri pada era nya Advent Bangun, Barry Prima, Jackie Chan (versi jadul)… Willy Dozen dalam Deru Debu juga.

Hampir segala yang berbau action 90 an ada disini:

1. Anak muda idealis yang datang dari desa ke kota untuk mencari makna baik dan buruk… Check.
2. Gadis manis yang tak berdaya yang mesti diselamatkan dari laki2 hidung belang… Check.
3. Dari si gadis yang diselamatkan, si tokoh utama malah dapat masalah yang menjadi inti film… Check.
4. Baju yang masih (sangat) rapi & bersih meskipun udah koprol2 dan digebukin ampe berdarah2… Check.
5. Antagonis yang terlalu jahat dan Protagonis yang terlalu baik… Check.
6. Environmental Fighting ala Jackie Chan… Check.
7. Dan beberapa adegan klise spt tokoh baik yang mati berdarah2 dlm pelukan cewek, Tokoh sidekick yang ditembak make 2 pistol jenis colt ampe pelurunya abis (jumlah peluru pistol colt standart 15 butir. Berarti ada 30 peluru yg ditembakkan) dan masih bisa berdiri trus nyerang balik, serta tak ketinggalan juga pertarungan terakhir di dermaga yang luas dengan kontainer besar di kanan-kiri =)

Cerita berawal dari Yudha (Iko Uwais), yang melakukan perantauan dari tanah minang ke jakarta untuk membuktikan kedewasaannya. Sesampainya di jakarta, ia bertemu dengan Astri (Sisca Jessica), seorang gadis yang ‘membutuhkan bantuan’ dari cekikan Joni (Alex Abbad), seorang germo klub malam. Dan seperti yang bisa ditebak, si gadis yang ditolong, bukannya berterimakasih, malah mengumpat tak karuan dan menyalahkan Yuda atas tindakannya. Tak lama kemudian, Yudha segera terlibat dengan masalah perdagangan wanita oleh pihak asing.

Di menit menit awal, film ini terasa lamban. Namun itu berhasil ditutupi dengan aktingnya Christine Hakim sbg ibu nya Yudha yang terasa natural. Namun, memasuki setengah jam pertama, Merantau mulai mengeluarkan taringnya.

Adegan-adegan baku hantam di film ini bisa dikatakan bagus, mengalir dan enak dilihat. Saya pikir, latar belakang si Iko yang memang bisa beladiri itu sedikit-banyak membuat semua aksinya di sini terlihat nyata (jangan bedakan dengan pemeran si Cullen yang emang bukan vampir, shg perannya sbg vampir membuat kepala pening, hahaha!).

Setipe dengan film-film laga Hollywood masa kini yang (terlalu) mengejar rating agar bisa ditonton orang dengan range umur lebih luas, maka film ini juga melakukan hal yang sama. Beberapa adegan di klub malam terasa lebay dengan dimunculkannya beberapa stripper yang masih memakai gaun tidur, dan scene making love yang ‘Indonesia banget’.

Overall, Merantau adalah film aksi baku hantam standart yang pas. Adegan silat harimau yang disajikan apik, menyatu dengan drama dan segala klise yang ada. Dan jujur saja, beberapa adegan aksi memang diatur sedemikian apik dan menghibur, terutama saat pertarungan melawan 2 musuh terakhir (Mads Koudal dan Laurent Buson) yang pastinya akan langsung mengingatkan kita pada ‘Boss Battle’ era Jackie Chan lama. Alur cerita yang sederhana pun bisa dinikmati semua umur. Tapi ini juga lah yang menjadi kelemahannya… (selain warna musik yang kurang cocok menurut saya)


Hopes:
Sekarang, mungkin Merantau adalah film bioskop yang tergolong standar (seperti yang sudah saya kemukakan diatas). Tpai saya berharap film ini bisa tampil lebih baik dengan di release dalam Collector Edition Set berbentuk DVD atau BluRay. Tak lupa juga bonusnya seperti Komentar dari sineasnya, sejarah singkat silat harimau, behind the scene, soundtrack, skrip koreografi silat yang apik, beberapa poster dan still photos, dan tak ketinggalan film versi uncut (kalau ada) dan Dirrector’s Cut nya =)

Peringatan pemerintah:
Tolong jangan bandingkan Merantau dengan film-film barat/asia bergenre sejenis, karena dari segi kualitas memang belum bisa mengejar. Nikmati saja apa yang disajikan, sebagai ‘film Indonesia’.

Belum pernah lihat aksi baku hantam di dalam lift ala silat harimau kan? 🙂

26
Oct
09

Resident Evil 5

resident_evil_5_conceptart_jfj1o_2

(R)Evolusi adalah satu kata yang (di)tonjolkan dalam game ini. Perlu kita melihat kembali ke zaman RE klasik yang bergenre Survival Horror (Mulai dari RE 0 (Zero), RE 1, RE 2, sampai RE 3, kemudian spin off nya seperti Code Veronica, Gun Survivor, Dead Aim, Outbreak, dll – Gaiden tidak dihitung… jelek! Hahaha!), yang memposisikan kita sebagai player dalam keadaan Wrong Man in the Wrong Place. Ketidaktahuan karakter utama tentang apa yang sedang terjadi, terperangkap dalam zombie outbreak, dan jumlah amunisi yang tipis selalu menjadi template awal dari seri-seri awal RE. Namun, mulai Resident Evil 4, genre itu ber-revolusi.
Dari Survival horror menjadi Action Horror.

Kisah si Leon S. Kennedy yang ditugaskan untuk menyelamatkan putri presiden yang diculik menkamukan kalau ia sudah dipersiapkan untuk menghadapi keadaan se-ekstrim apapun. Tak hanya dari segi cerita, dari segi gameplay pun seri RE ini sengaja dirombak habis-habisan. 3rd person view dengan frame-frame sempit yang sudah jadi kebiasaan seri ini diubah menjadi Shoulder view. Gerakan Leon juga lebih luwes dan bisa melakukan hal-hal yang lebih action daripada survival. Misalnya, menendang musuh dan melompat.

Nah, Resident Evil 5 juga senada dengan seri sebelumnya. Kali ini, settingnya berada di Afrika, tepatnya disebuah daerah bernama Kijuju.

Story

(Trivia: Akan lebih baik kalau kamu sudah pernah memainkan seri Resident Evil 4, Resident Evil: Code Veronica, dan menonton Resident Evil: Degeneration untuk memahami seri ini dengan jelas)

Cerita berawal dari Chris Redfield – veteran dari RE 1 – yang sekarang menjadi anggota BSAA (Bioterrorrism Security Assessment Alliance), sebuah organisasi militer anti bioterorisme, yang dikirim ke afrika untuk menyelidiki masuknya parasit Las Plagas (Jenis parasit yang (di)wabahkan di RE 4, dan berhasil direbut Ada Wong dari Leon, untuk dikirim ke Umbrella Corp.) ke afrika. BSAA mencurigai Ricardo Irving, seorang penyelundup senjata biologis, sebagai dalang dibalik semua ini.

Selain Chris, BSAA juga mengirim tim Alpha yang dipimpim DeChant. Tugas mereka adalah menangkap Irving saat melakukan transaksi.

Chris, yang kemudian bertemu dengan partnernya, Sheva Alomar (yang juga angggota BSAA cabang afrika) kemudian mulai menyelidiki kejadian ini – dan menyadari bahwa mereka tengah berjalan kedalam perangkap. Karena Irving, yang mengetahui kalau dirinya akan ditangkap, segera melepaskan uroboros (virus baru di seri RE), dan varian baru dari parasit Las Plagas bernama Las Plagas Tipe 2 ke daerah tersebut.

Warga setempat berubah menjadi sangat brutal dan menyerang mereka dengan senjata apapun… Sekop, clurit, golok, molotov, crossbow, kayu, kapak, mention it. Hal ini segera merubah misi chris dan sheva, dari penyelidikan menjadi misi bertahan hidup (walaupun mereka tetap diperintahkan untuk mengejar Irving).

Semakin jauh, dua agen ini menyadari bahwa penyelundupan B.O.W (Bio Technology Weapon) ke afrika bukanlah segalanya. Ada satu rencana jahat yang disembunyikan. Sama seperti penyelundupan B.O.W, Irving rupanya hanya pion catur kecil. Masih ada konspirasi antara Umbrella corp. dan Tricell (sebuah organisasi yg bergerak dibiang bioteknologi – diceritakan di akhir film Resident Evil: Degeneration), Exella Gionne (wanita berparas model yang juga pemimpin Tricell cabang afrika), Ozwell E. Spencer (pendiri Umbrella Corporation), Jill Valentine (Mantan partner chris), dan tentu saja Albert Wesker, dedengkot dari seluruh seri Resident Evil.

Gameplay

RE 5 berjalan seperti halnya RE 4. Kamera berada dibelakang pundak chris saat ia bergerak, dan sedikit zooming saat melakukan aiming. Tak lupa pula berbagai kombinasi tobol yang digunakan untuk Quick Time Event seperti menghindari jebakan, menyerang musuh, melompat, atau berlari secepat tenaga. Secara keseluruhan, tak ada perubahan yang drastis semenjak kehadiran RE 4.

Namun ada beberapa angin segar di seri ini. Selipan misi berbasis On Rail-Shooting, dan partner yang semi mandiri. Tidak seperti Ashley (putri presiden) dalam RE 4 yang harus selalu kita lindungi, di RE 5, partner (bisa sheva atau chris, tergantung mana yang kita mainkan) bisa melindungi dirinya sendiri, mengubati luka, atau menyerang musuh dengan agresif – kalau kita mau. Tapi jangan berharap partner akan membantai musuh persis seperti yang kita lakukan, karena dalam mode cover, partner hanya akan mengikuti kita dan sedikit menembak, dan dalam mode attack, partner akan maju dan menghajar musuh – tanpa mempedulikan healthnya (tampaknya AI selamanya hanya menjadi sidekick, bukan tokoh utama..hehehe). Oiya, kematian salah satu (baik player maupun partner) akan berakibat Game Over.

Dikisahkan, Manjini – sebutan untuk inang Las Plagas tipe 2, yang juga berarti Evil Spirit – lebih efektif daripada Los Ganados di RE 4. Tapi pada gameplaynya, feelnya tetep sama saja. Mereka tetap berkelompok, menggunakan senjata seadanya, dan bisa menggunakan environment untuk memojokkan kita.

Tips: Demi menonjolnya kata Horror dibelakang kata Action, maka kami sangat menyarankan kamu untuk bermain di mode veteran (hard mode), dimana herb jarang dijumpai, amunisi yang lebih langka, dan manjini yang akan ber HP lebih tinggi, lebih brutal dan menghasilkan damage yang bisa membuat frustasi…. ;D

Tidak semuanya yang berada dalam status quo itu jelek. Buktinya, selain ritme permainan yang diatur naik-turun dengan baik, boss batle yang asyik, berstrategi, dan menegangkan juga merupakan poin yang baik.

Grafis

RE 5 versi pc termasuk gae ringan untuk zaman sekarang. Dengan nVidia 8600 GT (tanpa Overclock), saya berhasil mendapatkan average framerate 30 fps dengan settingan resolusi 1024×768, all high, minus AA, motion blur dan Vertical Sync. Dan dengan sedikit tweaking, 28-29 fps didapat dengan semua setting di level high (1024×768, 16X AA, motion blur dan vertical sinc ON). Lumayan playable kan 🙂

Selain grafisnya yang sudah dipermak melebihi versi konsol, RE 5 bukan lah game sempurna di dalam grafisnya. Dibanyak tempat, terutama detail teksturnya, RE 5 masih menampilkan grafis yang low-res. Seakan-akan hanya model karakternya saja yang ditonjolkan, sementara detail yang lain dikesampingkan begitu saja.

Sound

Tak perlu diragukan lagi, RE 5 memiliki kualitas sound (jauh) diatas rata-rata. Mulai dari bunyi desiran angin, derap langkah kaki, suara manjini & monster disuguhkan dengan apik, apalagi kalau kamu menggunakan headset. Semua suara itu berbaur dengan backsound bertempo yang disesuaikan dengan keadaan permainan. saat tenang biasanya hanya langkah kaki dan desiran angin (kalau outdoor) yang terdengar. namun bila musuh datang menyerang, backsound akan fade in secara halus dengan bebunyian genderang khas afrika.

Satu nilai minus disini adalah ketidak-sinkronan suara senjata (terutama pistol). Didalam cutscene, suaranya mantap abis… tapi di gameplaynya biasa saja….

Replayability

Sudah ada beberapa orang yang saya kenal menyelesaikan game ini lebih dari satu kali. Ini membuktikan kalau game ini mempunyai replayability value yang cukup asyik. Saya sendiri belum membuka seluruh achievment RE 5. Tapi secara keseluruhan, ada beberapa yang bisa di unlock setelah kita menyelsaikan game nya satu kali.

1. Bonus Costume
2. Bonus Filter (Screen filter maksudnya)
3. Bonus Action Figure
Dan yang paling menyenangkan adalah, kita bisa membuat semua (saya bilang semua) senjata menjadi unlimited ammo… XD

Note: Saya tidak membahas RE 5 online karena tidak ada komputer lain disekitar saya, hahahaha!!!!

Overall

Jalinan cerita yang rumit dan back to the root karena dimunculkannya Edward E. Spencer –yang selama ini hanya muncul di dalam log dokumen – Jill Valentine, yang tidak jelas nasibnya setelah kehancuran Raccoon City di ending RE 3 dan Wesker sendiri memungkinkan bahwa ini adalah akhir dari franchise Resident Evil.

Selain itu, presentasi yang yahud juga membuat gamer betah berlama-lama di depan pc. Grafis HD nan mantap, Suara yang cemerlang, beberapa stage yang menantang, dan replayability value yang yahud adalah senjata utama RE 5. (Ada yang mau membandingkannya dengan Dead Space?)

Sebagai franchise yang telah melestarikan genre survival horor, pergantian genre semacam ini akan melahirkan dua kubu di sisi gamer. Yang setuju dan yang menentang. Tapi persetan, toh game nya tetap menyenangkan dan masih terasa ber-trade mark Resident Evil (dan saya pun yakin mereka yang mengolok2 revolusi RE juga ikut bermain!)

Tapi, apakah RE 5 (benar-benar) akan menjadi seri penutup RE? Mungkin. Tapi saya tidak yakin. Lha wong seri Metal Gear Solid (MGS) yang sudah bener2 tamat pun masih dilanjutkan ke MGS: Peace Walker ama MGS: Rising…. Jadi, saya pikir, selama game ini masih bisa jadi sapi perahnya Capcom, maka spin off2 akan lahir, dan tidak menutup kemungkinan seri utama nya juga akan berlanjut lagi — Dengan atau tanpa kru yang sama, seperti Shinji Mikami (kreator seri RE original) yang sudah lepas tangan dari RE ini

Oalah, duit, duit….

18
Mar
09

The Misuh: Evolution

shut-the-fuck-up

Beberapa jam yang lalu, saya membaca sebuah artikel tulisan Sabrang Mowo Damar Panulih (Noe Letto) di majalah Rolling Stone Indonesia edisi maret. Tidak banyak yang saya mengerti tentang isi artikel itu, karena saya masih awam dengan dunia musik (hahaha,saya lebih mengerti -dan tertarik- dengan keluarnya Shinji Mikami dari proyek Resident Evil 5 daripada ditanya jumlah anggota gun’s n roses 🙂

Nah, yang membuat saya tertarik dengan artikel itu adalah intermezo nya. Ada banya kata ‘fuck’ disitu… sekaligus (sedikit) menggali makna nya (hahaha, cukup kaget juga sebenarnya membaca majalah musik sekelas Rolling Stone memuat banyak kata ‘fuck’ tanpa sensor 🙂

Di artikel itu dibeberkan betapa banyak arti dari kata ‘fuck’, sekaligus betapa sering orang barat menggunakannya, entah sebagai sumpah serapah, penggambaran kebahagiaan, sebagai kata tunggal, atau disisipkan di sela-sela kalimat. Well, saya memang bukan ahli bahasa (mengerti pun kadang tidak… makanya saya menulis tulisan ini). Namun yang jelas, bahwa kata ‘fuck’…  atau kita generalisasikan sajalah…  Sumpah serapah…ah, terlalu panjang… mengumpat… Misoh! (misoh itu bahasa jawa-nya mengumpat 🙂

Ah, saya suka yang terakhir. Singkat, Padat, Jelas, dan (sangat) bisa diucapkan dengan sepenuh hati nurani:  MISOH!!!!

Menurut bahasa (halah) misoh dapat didefinisikan sebagai… apa ya? Jangankan makna nya. Arti per kata nya pun saya belum tahu.

Tadi sore misalnya, saya berdiskusi dengan Om Bollie -Music Dirrector saya- tentang arti dari ‘gathel’. Nah, dari diskusi tadi, dapat ditarik kesimpulan, bahwasannya kata ‘gathel’ sedikitnya mempunyai dua arti. Yang pertama yakni serapan dari kata ‘gatel’ yang biasa digunakan untuk menggambarkan perilaku caper yang keterlaluan. Yang kedua, ‘gathel’ bisa berarti mempersetankan (me-tidak menghiraukan) -> Maaf banget kalau bahasanya kacau ya T__T

Nah, kalau diperluas, ternyata banyak juga kata kata pisuhan (bentukan dari kata ‘misoh’) yang tidak saya mengerti artinya. Ambil saja yang paling kasar: Bajingan. Ada yang tahu artinya? Apakah bisa diartikan ‘seperti bajing’ (tupai)? Lalu apa salahnya kalau manusia bertingkah kayak bajing sampai-sampai kata itu mendapat strata paling tinggi?

Oke, kembali pada kegiatan (eh, ini kata kerja kan?) misoh ini, awalnya dipandang sebagai sesuatu yang tabu… jorok… dosa… setidaknya waktu kita masih kecil, oleh siapa pun itu biasanya sih, oleh orang yang lebih tua…). Namun saat kita lihat sekarang, misoh adalah bagian dari hidup. Misoh menjadi ice breaker, atau setidaknya menjadi kata pengganti salam untuk teman dekat (ya, memang tidak terjadi pada tiap orang sih….tapi kalau pun itu tidak terjadi pada diri kita –alhamdulillah– minimal kita bisa liat diluar sana lah)

Ini berarti, misoh telah Berevolusi!

Saya tidak menyebutkan berubah arti lho ya. Karena dari dulu ampe sekarang… ampe nanti insyaallah, tetep buruk (hahaha, subyektif… yo ben! Ya biar!). Yang saya maksudkan di sini adalah ber-evolusi. Berubah wujud secara perlahan menuju satu wujud lain. Apakah berevolusi positif atau negatif, saya tidak tahu. Tapi yang jelas berevolusi.

A: “Weh, B, suwe ra ketemu? neng ngendi wae kowe? biajingani… lemu tenaaan awakmu! cocok karo susune po?”

B: “Lonthei! lagi wae ketemu langsung mbajing-mbajingke kancane! hahaha, lha kowe dewe piye? kerjo neng ndi saiki?”

…Ya,begitulah kira-kira contohnya. Saya bukan termasuk orang yang asyik masyuk bermisuh-misuh ria. Tapi kalau mau jujur, sebenarnya ada semacam energi ‘hangat’ yang keluar dari pisuhan itu, meresap melalui lubang telinga, dan akhirnya merembes ke hati… Cita rasa persahabatan konco kenthel… hehehehehehe  XD

Aneh ya? (hahaha… Produser saya sering sekali orang itu mengucap 2 kata ini)… padahal hanya kata-kata yang tidak saya mengerti arti tepatnya…. seperti mantra.

he, mantra?

Waduh, asemi! butuh penelaahan lebih lanjut lagi nih….

18-03-09

Kantor Sunyi,

Jam sepuluh lebih sedikit,

Seraya berdoa agar artikel ini tidak di hapus admin nya ~___~

08
Mar
09

Pembelaan Orang Jawa :)

The History of Java

Saya baru saja membaca sebuah review buku berjudul ‘The History of Java’ karangan Thomas Stamford Raffles (Solopos, Minggu 8 Maret 09). Di review tersebut dituls bahwa raffles adalah seorang eropa yang paling mengenal jawa. Dari pengakuannya itu, dia mengklaim bahwa orang jawa bisa di cap dengan stereotip yang khas:

Tidak suka bekerja keras, Malas berpetualang, Lebih suka menerima apa adanya, Cenderung tertutup, dan Jauh dari hiruk pikuk perdagangan dunia.

Begitu saya membaca paragraf itu, hati saya pecah. Separuh mengakui, tapi yang separo lagi menolak. Tapi kita lanjutkan dulu reviewnya.

Salah satu peristiwa yang mempengaruhi keadaan ini adalah peristiwa perang cina di batavia (saya malah baru tahu kalo cina pernah perang di batavia….). Peristiwa ini terus merembet hingga melibatkan Mataram. Pada tahun 1741, Paku Buwono (PB) II memerintahkan tentara jawa untuk mendukung pemberontakan cina terhadap VOC. Namun pemberontakan tersebut gagal, dan memaksa PB II untuk kembali ke pihak VOC. Pemberontak yang kecewa dengan sikap PB II akhirnya melancarkan pemberontakan ke mataram dan berhasil menduduki keraton Kartasura.

Sampai di poin ini, VOC menawarkan bantuan pada PBII dengan beberapa syarat. Nah, keberhasilan VOC + PD II membuat Sultan harus menepati janji nya. Yakni, Belanda mendapatkan kekuasaan atas Madura, Pesisir laut Surabaya, Wilayah timur hingga Blambangan, Rembang, Jepara, dan Semarang.

well, hilangnya wilayah2 pesisir ini membuat pulau jawa (semakin) terisolasi.

Baik, kita lupakan sejenak masalah sejarah dan kembali pada sifat orang jawa. Pandangan tentang orang jawa yang malas (ini menurut saya lho…) hanyalah pandangan dari orang-orang pemuja sistem masyarakat individualis.

Orang jawa itu kalem, bisa menahan amarah, penuh perhitungan, phlegmatis, dan penuh dengan filosofi (ini dia yang tidak dimiliki orang barat). Karena itu ada istilah ‘Alon alon, asal kelakon’. Ini jangan diartikan begini: ‘Lamban nggak apa2, yang penting kan selesai’ tapi begini, ‘Dalam mengerjakan segala sesuatu, ketelitian, kesabaran dan cara pandang adalah penting. Jadi, jangan gegabah dan hanya mengejar sesuatu yang instan dalam melakukan suatu hal.’ Hehehe, saya jadi teringat sebuah bilboard yang terpasang di daerah pertigaan manahan. disitu dituliskan, ‘Alon alon ora bakal kelakon… Cara masyarakat menghadapi perubahan’…. Lucu sekali.

Kembali ke review buku. Setelah Raffles, datanglah seorang antropolog asal San Francisco, Clifford Geertz. Saat dia datang, Jawa sudah bukan merupakan jajahan belanda lagi. Namun, orang-orang di Mojokuto (tempat yang diteliti nya) tetap hidup dalam kesederhanaan. Mereka ini  hanya berdagang di pasar tradisional, sedangkan di pusat kota hanya terlihat toko2 milik orang cina. Dan akkhirnya, si Clifford ini menarik kesimpulan yang tak jauh berbeda dari Raffles soal orang jawa. Dari poin ini, akhirnya si penulis mempertanyakan ‘ke-mandek(stagnan)-an’ budaya jawa.

Dalam hati saya langsung menjawab ‘Tidak’. Karena budaya jawa tidak stagnan. Namun terjaga melalui orang-orangnya,yakni orang-orang jawa (terlepas apakah itu jawa dalam pengertian ‘suku’ ataupun ‘jawa’ dalam artian pola pikir)*.

Adalah suatu pandangan yang salah bila mengartikan ‘tradisional’ sama dengan kuno. Tradisional justru penuh dengan filosofi dan kebijakan. dan itulah yang diperlukan dunia modern yang individualis saat ini.

Kebijaksanaan.

*Thank’s to Pak Prabu dan Pak Darsono




May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Categories

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 2 other subscribers